Jumat, 11 November 2011

Amankan ekspor, RI perluas perjanjian dagang bilateral

HONOLULU:Pemerintah menilai perjanjian dagang secara bilateral  dibutuhkan  antara Indonesia dengan sejumlah negara,  menyusul  upaya untuk  meningkatkan nilai ekspor produk dalam negeri di tengah  krisis finansial di Eropa dan Amerika Serikat yang membayangi serta dalam rangka memenangkan persaingan.
 
Gusmardi Bustami, Direktur  Jenderal  Kerjasama  Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan,    mengatakan saat ini perjanjian dagang secara bilateral yang telah disepakti baru dengan Jepang, dan selanjutnya akan menyusul  antara RI dengan India, Korsel, Uni Eropa, Turki, EFTA (European Free Trade Association)  yaitu  dengan negara Swis, Norwegia, Iceland, dan di  Liechtenstein.
 
"Ya [perjanjian dagang bilateral] dibutuhkan apalagi saat risis finansial melanda negara Eropa dan AS," kata Gusmardi  hari ini, di sela perhelatan  KTT APEC 2011 yang  diselenggarakan di Honolulu, Hawai, AS.
 
Perjanjian bilateral yang diikuti tarif bea masuk impor  tersebut, ujarnya, sekaligus merupakan upaya Indonesia untuk memenangkan persaiangan. Mengingat sejumlah negara di Asia juga saat ini melakukan diversifikasi  pasar, pasca terjadinya krisis finansial di Eropa dan AS.
 
Apalagi, ujarnya, jika negara pesaing  yang berada dekat dengan Indonesia telah melakukan perjanjian bilateral dengan negara tujuan ekspor, maka pemerintah perlu mempertimbangkan untuk melakukan hal sama.
 
"Karena ,misalnya, kalau Indonesia tidak melakukan, kemudian negara tetangga melakukan . Waktu dia [negara tujuan ekspor] beli  produk sama, tentu importir atau negara improtir  memilih kepada yang lebih murah," kata Gusmardi.
 
Perbedaan  pengenaan tarif sebesar 10%  antara negara pesaing untuk merebut pangsa ekspor di suatu negara akan besar dampaknya atas keputusan para importir dalam rangka  mendapatkan barang lebih murah.
 
Apalagi saat ini memang sudah ada gejala menurunnya permintaan barang dari pasar tradisional atau  negara potensial yang membeli produk dari Indonesia. Jika pada 2010 sebesar 42%  porsinya dari total ekspor, maka pada pada tahun 2011 hingga saat ini baru 40%.
 
Gusmardi menilai penurunan tersebut mengingat konsumen  di pasar tradisonal  melakukan penghematan belanjanya dikarenakan terjadi krisis finansial di negaranya. Sementara itu masyarakat di negara nontradisional lebih stabil konsumsinya. 
 
"Kalau barangnya  masuk pada negara sudah ada perjanjiannya dikenakan  0%, yang belum  ada perjanjian dikenakan 10%. Beda 10%, itu  substansialnya cukup besar," kata Gusmardi. (sut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar