Kamis, 14 Juli 2011

Bea-Cukai Buka Blokir Omega Film



TEMPO Interaktif, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan mengizinkan PT Omega Film mengimpor kembali film asing. Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai Susiwijono mengatakan sudah meneken surat keputusan untuk membuka blokir perusahaan tersebut.

"Info dari Direktorat Penindakan dan Penyidikan (P2) menyebutkan proses pembukaan blokir sudah berjalan beberapa hari ini," katanya melalui pesan pendek kemarin. Pembukaan blokir sudah dilakukan sejak kemarin sore.

Izin impor film yang dikantongi Omega Film diblokir oleh Kementerian Keuangan lantaran perusahaan ini diduga masih terkait erat dengan kelompok 21 Cineplex. Kelompok ini masih menunggak pajak impor film.

Pada pekan lalu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono mengatakan masih memeriksa keterkaitan Omega dengan importir yang menunggak pajak. Bila tidak ada keterkaitan di antara keduanya, Omega sudah bisa mengimpor film. "Secara prosedural sudah bisa mengimpor," katanya.

Omega Film didirikan pada 17 Januari lalu oleh Syaiful Atim dan Ahmad Fauzi. Masing-masing menyetor modal Rp 550 juta. Keduanya berbagi peran sebagai direktur dan komisaris perseroan.

Namun, dari penelusuran majalah Tempo pada Juni lalu, Syaiful membantah sebagai pendiri perusahaan. Siti, istri Syaiful, mengatakan bahwa suaminya bekerja di Grup 21 sejak pertengahan 1980-an.

Sumber Tempo membisikkan bahwa Omega didirikan tak lama setelah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melayangkan tagihan pada 12 Januari lalu kepada tiga perusahaan importir Grup 21, yakni PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film. Hasil audit Bea dan Cukai menemukan bahwa ketiganya kurang membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor periode 2008-2010. Nilai piutang plus dendanya mencapai lebih dari Rp 310 miliar.

Omega pun disiapkan untuk melanjutkan peran sebagai importir jika ketiga perusahaan tersebut diblokir atau bermasalah secara hukum. Apalagi tagihan bea dan cukai harus dibayar paling lambat 12 Maret lalu. Batas waktu terlampaui, Grup 21 tak sanggup membayar. Bea dan Cukai membekukan sementara impor ketiga perusahaan.

Hingga semalam, manajemen Grup 21 belum bisa dikonfirmasi. Salah satu petinggi Grup 21, Tri Rudi Anitio, tidak mengangkat panggilan telepon ataupun membalas pesan pendek yang dilayangkan Tempo. Kepada majalah Tempo sebelumnya, Anitio, yang menjabat Komisaris PT Camila Internusa Film--importir film yang juga milik Grup 21--mengaku Omega Film memang didirikan Grup 2

Selasa, 12 Juli 2011

Aneh! Indonesia Ternyata Ekspor Lumba-lumba



Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya ekspor sejumlah komoditas yang sepatutnya dilindungi, seperti lumba-lumba. Meski nilainya kecil, namun binatang yang populasinya terus berkurang itu mestinya dilindungi.

Berdasarkan data BPS, ekspor yang masuk dalam nomor HS 0106120000 yaitu paus hidup, lumba-lumba, dan ikan duyung pada Januari tercatat sebesar 600 kg dengan nilai US$ 10 ribu. Sementara pada Februari dan Maret tahun ini belum dilakukan ekspor untuk komoditas tersebut.

Direktur Perdagangan BPS Satwiko mengungkapkan, ekspor tersebut dilakukan Taman Impian Jaya Ancol untuk Kebun Binatang di Taiwan. Jumlahnya mencapai 4 ekor dengan total berat 600 kg.

"Eksporternya Taman Impian Jaya Ancol diterima oleh Zoo di Taiwan dari Bandara Soekarno Hatta, masih bisa masuk pesawat cepat, jadi nggak mati di perjalanan," tegasnya melalui pesan singkatnya kepada detikFinance, Selasa (12/7/2011).

Perdagangan lumba-lumba ke luar negeri dan penangkapannya sebenarnya telah terikat oleh peraturan CITES, Whaling Convention, dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Di Indonesia semua jenis lumba-lumba, pesut, dan paus telah dilindungi Undang-undang Konservasi Hayati berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Meskipun telah dilindungi, penangkapan terhadap lumba-lumba masih terjadi di beberapa perairan di Indonesia, yaitu di Jawa Tengah dan Riau. Penangkapan tersebut diduga oleh adanya izin-izin tidak sah yang dikeluarkan oleh Ditjen PHKA dengan dalih untuk keperluan oseanarium atau travelling zoo (sirkus).

Selain ikan paus, lumba-lumba, dan ikan duyung, Indonesia juga mengekspor hewan reptil hidup, termasuk ular dan kura-kura. Pada Januari, sebanyak 29.791 kg diekspor dengan nilai mencapai USD 169.653. Sedangkan, pada bulan Februari, sebanyak 33.344 kg dengan nilai USD 244.748, dan pada bulan Maret, sebanyak 20.517 kg daging reptil diekspor dengan nilai USD 209.281.

Rupanya ada juga ekspor kaki kodok yang nilainya cukup besar dan naik setiap bulannya. Pada Januari, Indonesia mengekspor 185.441 kg kaki kodok dengan nilai USD 1.051.678