Jumat, 25 Mei 2012

Pemerintah Harus Kaji Ulang Permen ESDM No.7/2012

JAKARTA, PedomanNEWS - Anggota Komisi VII DPR RI bidang energi, Dewi Aryani mengusulkan agar pemerintah mengkaji ulang Peraturan Menteri No.7 Tahun 2012.
"Berbagai pendapat, usulan dan protes yang terjadi akibat dari adanya Permen ESDM No. 07 tahun 2012 harus dijadikan momentum pemerintah untuk segera melakukan upaya review kebijakan tersebut secara mendalam. Pihak yang menyetujui dan menolak harus diperlakukan sama," ujar politisi PDI Perjuangan kepada wartawan, Jakarta, Selasa (8/5).
Menurutnya, kesalahan pemerintah terkait tata kelola pertambangan dan win-win solution harus segera dibeberkan.
Dikatakannya, pemerintah memiliki beberap poin kesalahan, diantaranya pertama, obral ijin tambang selama ini tanpa memberikan persyaratan baku (dalam lampiran persyaratan) soal jenis perusahaan yang boleh ijin tambang baik dari sisi jumlah minimum permodalan maupun rencana kerja.
Kedua, maraknya calo tambang tidak pernah serius di berantas. Ketiga, birokrasi dalam proses investasi yang berbelit dan banyak indikasi suap dalam mendapatkan berbagai macam perijinan yang menyertainya.
"Ini kaitannya dengan wacana reformasi birokrasi harusnya di implementasikan segera di sektor ini," tuturnya.
Keempat, pemerintah tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan. Sehingga berbagai bentuk protes marak setelah peraturan di tetapkan.
"Mestinya laksanakan dulu semacam focus group discusion (FGD) untuk tiap prosesnya sehingga mendapatkan masukan, kritik dan ide konstruktif selama proses pembuatan kebijakan," terangnya.
Kelima, inkonsistensi dalam berbagai peraturan. Jika telah diamanatkan dalam UU bahwa batas waktu pelarangan ekspor adalah 2014, maka harus mengacu kepada UU tersebut.
"Jangan tiba-tiba ada peraturan yang menindih dan overlapped dalam substansinya, yang berakibat kepada sistem, mekanisme dan rencana kerja perusahaan yang memang secara positif sudah menyiapkan business plan sesuai dengan peraturan yang melekat sebelumnya," paparnya.
Keenam, soal bea ekspor sebesar 20 persen untuk 14 jenis bahan mineral mestinya sudah dipikirkan sebagai dampak dari isi UU tersebut jauh hari sebelumnya, bukan baru sekarang diturunkan sebagai kebijakan instan (baik dlm proses maupun penghitungan dampaknya thd berbagai aspek). Dimana berbagai alasan mengenai meningkatnya produksi mineral yang di ekspor justru mengindikasikan pemerintah selama ini lemah dalam kontrol kebijakan dan sangat rapuh dalam menganalisa berbagai kemungkinan skenario akibat dr kebijakan yang di lahirkan.
Langkah Win Win Solution
Untuk menghindari berbagai gejolak, usul Dewi, maka pemerintah harus segera mengambil langkah - langkah tegas dan win-win bagi semua stake holder sektor pertambangan, diantaranya adalah yang harus di lakukan pemerintah pertama, mereview kembali Permen ESDN No. 07/2012 dan melakukan kajian mendalam dengan memasukkan berbagai unsur yang telah disampaikan berbagai pemangku kepentingan. "Pihak yang sepakat dan tidak sepakat harus di akomodir."
Kedua, bentuk satgas atau pokja khusus yang bertugas menggodok kasus ini dalam jangka waktu maksimal 6 (enam) bulan ke depan untuk mengkapitalisasi berbagai aspek baik secara teknis dan non teknis pertambangan.
Ketiga, tetap memberi ijin ekspor namun dibatasi dengan kuota tertentu. "Ini untuk menekan laju pertumbuhan volume ekspor," ujarnya menambahkan.
Keempat, bea keluar harus disesuaikan dengan jenis tambangnya, tidak bisa diratakan untuk 14 jenis tersebut sebesar 20 persen. "Cost produksi yang non teknis kadang membuat biaya produksi juga meningkat. Pungutan liat tidak resmi harus ditiadakan dengan pengawasan yang sempurna."
Kelima, untuk batubara, karena menjadi andalan sumber energi ke depan, harusnya menjadi fokus pemerintah dalam pembuatan berbagai macam peraturan.
"Sejak sekarang harus sudah di perhitungkan berapa prosentase bea keluar, bagaimana volume peruntukan DMO (domestik market obligation) dan aspek EMO (eksport market obligation) harus dikaji ulang. Utamakan pemenuhan dalam negeri dahulu," jelasnya.
Keenam, ketakutan terhadap pemegang Kontrak Karya (KK) adalah bagian dari resiko yang harus diambil pemerintah.
"Jangan hanya bisa menekan PMDN, tapi berurusan dengan KK asing juga harus menjadi target pemerintah. Jangan sampai bangsa kita menjadi kuli bangsa lain di tanahnya sendiri," tegasnya.
Dan ketujuh, semua substansi isi UU yang terkait dengan energi termasuk UU Migas dan UU Minerba harus dibahas ulang dengan mengacu dan berpatokan kepada konstitusi dan amanat dalam UUD 45.
Sunandar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar