Senin, 09 Juli 2012

Industri Kertas RI Ditakuti Perusahaan Dunia

VIVAnews - Sebagai produsen produk bubur kertas (pulp) dan kertas yang makin diperhitungkan di dunia, kalangan pelaku usaha di tanah air mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan sertifikasi kayu hutan yang diakui secara internasional. 
Presiden Komisaris PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Tony Wenas dalam acara 'Workshop Social Media in Asia' di Singapura mengungkapkan, kebutuhan sertifikasi itu dianggap mendesak mengingat kampanye seputar produk hutan asal Indonesia di pasar internasional semakin marak. 
Wenas menjelaskan, produk pulp dan kertas Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menjadi ancaman bagi negara pesaingnya di Eropa dan Amerika Selatan. Hal itu tak terlepas dari keunggulan produk hutan Indonesia yang dapat dipanen lebih cepat dibandingkan negara pesaing.
Untuk diketahui, tanaman akasia yang menjadi bahan baku pembuatan kertas bisa dipanen di Indonesia hanya dalam tujuh tahun. Sedangkan di Eropa atau Amerika Selatan, dibutuhkan waktu lebih dari 20 tahun. 
Keunggulan lain adalah jarak Indonesia dan China sebagai pasar utama kertas dunia relatif lebih dekat dibandingkan Brazil dan Eropa. "Industrialisasi di China dan dunia bakal tumbuh pesat. Jadi, kebutuhan kertas akan naik signifikan," ungkapnya.
Untuk mengekspor produk pulp maupun kertas ke China, produsen kertas Indonesia hanya butuh waktu tujuh hari, sedangkan perusahaan dari Eropa dan Brazil membutuhkan waktu lebih dari 30 hari.
Dalam perhitungan RAPP, produksi kertas Indonesia saat ini mencapai 12 juta ton per tahun atau 2,2 persen pangsa pasar dunia yang mencapai 350 juta ton. Saat ini, produksi kertas Indonesia merupakan yang terbesar ke-12 dunia. 
Sementara itu, produk pulp nasional saat ini ditaksir sebesar 7 juta ton per tahun dan mengisi 2,5 persen pangsa pasar dunia sebanyak 200 juta ton. Produksi pulp Indonesia merupakan terbesar ke-9 dunia.
Dengan tingkat daya saing yang tinggi, Wenas menilai, para pelaku usaha sudah sepatutnya membuat sertifikasi hutan kayu yang diakui secara internasional. Sertifikat kelestarian hutan itu selanjutnya harus didukung pemerintah sehingga bisa diakui di dunia internasional. 
"Brasil sudah berhasil karena mereka bisa membuat sertifikasi yang diakui internasional. Kita belum punya (sertifikasi) itu," tegas Wenas.
Preseden Buruk
Pada bagian lain, Wenas mengungkapkan, para pelaku industri kehutanan khawatir masalah perebutan lahan konsesi bakal menjadi preseden buruk bagi masuknya investasi dari luar negeri. Apalagi, jika sampai muncul bentrokan dengan masyarakat lokal. 
Ia menjelaskan, masalah konflik lahan yang dialami perusahaan telah mempengaruhi kebijakan perusahaan. Beruntung, sisi operasinal perusahaan tak terpengaruh secara keseluruhan.
Padahal, kata Wenas, perusahaan telah membuka diri untuk berdialog dengan masa penentang pengembangan hutan tanaman industri (HTI).
Menurutnya, dalam sejumlah kejadian yang mencuat ke permukaan, pemerintah sebetulnya mengetahui seluruh kondisi dan masalah yang dihadapi perusahaan. Namun begitu sampai ke level bawah, informasi yang disampaikan senantiasa tak sesuai. 
Munculnya berbagai preseden buruk tersebut, ujar Wenas, pada akhirnya menuntut pemerintah agar lebih tegas dalam menghadapi persoalan di lapangan. "Sekarang ini kebijakan pemerintah tak mau frontal dengan masyarakat," tegas dia. (asp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar