Selasa, 11 September 2012

Tarif relokasi kargo di Pelabuhan Priok kedaluwarsa

JAKARTA: Pelaku usaha mendesak evaluasi tarif penanganan pindah lokasi penumpukan (PLP) atau relokasi terhadap barang jenis general cargo/breakbulk di Pelabuhan Tanjung Priok guna menghindari membengkaknya biaya logistik.

Pasalnya, tarif  yang diberlakukan hanya berdasarkan kesepakatan tarif PLP general cargo/breakbulk di Pelabuhan Tanjung Priok oleh manajemen Pelindo II dengan sejumlah asosiasi penyedia jasa di pelabuhan itu sudah kedaluwarsa atau habis masa berlakunya sejak dua bulan lalu.

Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro mengatakan, kesepakatan biaya penanganan PLP itu juga tidak pernah disosialisasikan sebelumnya kepada pelaku usaha.

“Kami juga meminta KPPU (komisi pengawas persaingan usaha) untuk menelusuri hadirnya kesepakatan tersebut,” ujarnya kepada Bisnis, hari ini Senin (10/9).

Dia mengatakan, hampir seluruh barang jenis general cargo/breakbulk di kenakan biaya relokasi akibat  keterbatasan lapangan penumpukan dan minimnya fasilitas gudang di Pelabuhan Tanjung Priok.

“Biaya relokasi itu sangat memberatkan pemilik barang dan menambah beban logistik nasional,” paparnya.

Toto mengatakan, seharusnya tarif PLP jenis kargo ini juga bisa di evaluasi dan di tekan dengan dilakukannya pembenahan tata ruang Pelabuhan Tanjung Priok.

Disisi lain, kata dia, pertumbuhan volume bongkar muat kargo jenis tersebut cukup signifikan setiap tahun.“Padahal semestinya operator pelabuhan berkewajiban menyiapkan fasilitas lapangan yang cukup guna menampung semua barang yang di bongkar muat,” tuturnya.

Biaya penanganan pindah lokasi penumpukan/relokasi general cargo/breakbulk di Pelabuhan Tanjung Priok selama ini mengacu pada kesepakatan tarif PLP yang ditandatangani Manajemen Pelindo II dengan sejumlah asosiasi di Pelabuhan Tanjung Priok pada 15 Juli 2011. Kesepakatan tersebut berlaku selama satu tahun atau hingga 15 Juli 2012.

Kesepakatan tersebut ditandatangani BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) DKI Jakarta, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (Alfi) DKI, Asosiasi Perusahaan Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo) dan DPC Indonesia National Shipowners Association (INSA) Jaya.

Kesepakatan juga di ketahui dan di tandatangani oleh General Manager Pelindo II Tanjung Priok, serta Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok.

Berdasarkan kesepakatan itu untuk moving di kenakan biaya Rp.40.000/cbm/ton, receiving Rp.15.000/cbm/ton, delivery Rp.15.000/cbm/ton, storage Rp.2.250/cbm/ton, dan administrasi Rp.50.000/delivery order (DO).

Sedangkan penanganan PLP breakbulk atau alat berat menggunakan trucking di kenakan storage (penumpukan) Rp.2.250/cbm/ton, moving menggunakan low bed Rp.1.750.000, dan administrasi Rp.50.000/DO. Kemudian, jika PLP alat berat menggunakan driver dikenakan storage Rp.2.250/cbm/ton, pergerakan Rp.250.000/unit serta administrasi Rp.50.000/DO.

Toto yang juga menjabat Ketua Bidang Regulasi & SDM Dewan Logistik Indonesia, mengusulkan tarif PLP kargo jenis tersebut di Pelabuhan Tanjung Priok bisa di turunkan hingga lebih 50% dari yang ada saat ini, sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap tarif penanganan PLP atau over brengen peti kemas.

Soalnya, kata dia, kegiatan PLP itu seharusnya menjadi beban dan tanggung jawab operator pelabuhan karena tidak mampu menyiapkan fasilitas lapangan penumpukan.

“Sebelumnya untuk PLP peti kemas bisa di turunkan, seharusnya untuk PLP kargo umum dan breakbulk juga bisa dilakukan hal yang sama,” ujarnya.

Widijanto, Ketua Komite Tetap bidang perdagangan impor ekspor Kadin DKI Jakarta mengatakan, evaluasi terhadap biaya PLP general cargo/breakbulk di Pelabuhan Tanjung Priok perlu dilakukan, apalagi masa berlaku tarif kesepakatan tersebut sudah berakhir.

“Harus segera di evaluasi, jangan sampai justru terjadi praktek tarif liar, yang ujung-ujungnya akan membebani pelaku usaha,”ujarnya.

Dia mengakui selama ini keluhan dan keberatan biaya PLP jenis kargo tersebut di Pelabuhan Tanjung Priok masih dirasakan pemilik barang impor.

Sebab, ungkapnya, seringkali barang yang baru di bongkar langsung terkena PLP karena ketidaktersediaan space penumpukan. “Ini tidak adil dan sangat memberatkan,” tuturnya.

Di konfirmasi hal tersebut, Juru Bicara Pelindo II cabang Pelabuhan Tanjung Priok Sofyan Gumelar mengatakan, justru baru mengetahui jika kesepakatan tarif PLP tersebut sudah kedaluwarsa.

“Saya juga baru mengetahuinya dari anda, nanti akan kami sampaikan kepada manajemen bagaimana mencari solusinya,” ujarnya kepada Bisnis.

Data Pelindo II menyebutkan, selama Januari-Juli 2012, arus barang umum (general cargo) melalui Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 29.847.893 ton atau naik 22,6% dibanding periode yang sama tahun lalu 24.330.764 ton.

Arus barang umum selama tujuh bulan pertama 2012 itu berasal dari perdagangan luar negeri (impor) sebanyak 8.941.881 ton dan ekspor 3.262.836 ton.

Kemudian berasal dari perdagangan dalam negeri atau antar pulau yang di bongkar sebanyak 8.858.634 ton dan yang di muat 8.784.542 ton.(K1/api)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar