Jumat, 25 Mei 2012

BEA KELUAR: HPE 3 Bulan Terakhir Akan Jadi ACUAN

JAKARTA: Pemerintah akan menggunakan rata-rata patokan ekspor dalam 3 bulan terakhir sebagai variabel perhitungan bea keluar yang dikenakan pada 65 komoditas mineral mentah.
 
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Dedy Saleh mengatakan untuk sementara waktu harga patokan ekspor (HPE) akan didasarkan pada rata-rata harga yang tercantum dalam dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang dalam 3 bulan terakhir.
 
“Misalnya untuk pengiriman Mei, harga yang menjadi acuan itu harga rata-rata dalam data eksportir bulan Februari, Maret, dan April untuk masing komoditas. Ini yang menjadi rujukan sementara,” katanya, hari ini.
 
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.75/PMK.011/2012 tentang Penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, tarif bea keluar untuk 65 komoditas mineral mentah bersifat flat 20%.
 
Adapun rumusan perhitungan bea keluar ditetapkan berdasarkan perkalian tarif bea keluar, jumlah satuan barang, nilai tukar mata uang, dan harga ekspor per satuan barang.
 
Harga ekspor ini idealnya ditetapkan dengan mengacu pada harga yang berlaku di bursa komoditas internasional, seperti yang diterapkan pada CPO, emas dan kakao.“Kalau logam ada bursa LME di London, tapi harga yang ditetapkan harus di-break down lagi.”
 
Untuk menetapkan HPE dengan lebih akurat, sambungnya, pemerintah masih memerlukan waktu. “Secepatnya kita susun data di PEB yang dimiliki Ditjen Bea dan Cukai. Dalam beberapa hari, kita harapkan HPE sudah bisa dikeluarkan,” jelasnya. (yus)
 

IMPOR HORTIKULTURA: hanya distributor yang boleh

JAKARTA: Desakan agar peritel tetap diperbolehkan mengimpor langsung produk hortikultura tak digubris pemerintah, dengan alasan demi melindungi produksi dalam negeri.


Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh menegaskan tidak akan merevisi Permendag No 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, sehingga peritel hanya dapat memperoleh pasokan buah dan sayuran impor dari distributor.


"Tidak akan (direvisi). Mereka bisa mendapatkan itu (produk hortikultura impor) dari distributor," tegasnya, hari ini.


Mengenai bengkaknya biaya logistik akibat mata rantai distribusi yang makin panjang, Deddy berpendapat tak masalah jika hal itu dibebankan kepada konsumen.


Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Gunaryo menambahkan larangan importir menjual langsung dilakukan demi melindungi produksi hortikultura dalam negeri.


"Selama ini buah dan sayuran dari petani harus lewat pengumpul dulu, lalu ke pedagang besar, baru ke peritel dan konsumen. Sementara, produk impor bisa langsung ke peritel. Ini kan tidak adil. Makanya, aturan ini ada supaya muncul fairness," tuturnya.


Namun, Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Satria Hamid Achmadi mengatakan sebagian besar peritel selama ini sudah mendatangkan produk impor melalui importir supplier.


Namun, pihaknya meminta agar peritel tidak diwajibkan meminta pasokan kepada untuk produk hortikultura tertentu, peritel harus mengimpor langsung.

"Mana mau importir umum mengimpor kiwi dan blueberry karena pasarnya kecil dan risiko yang tinggi terhadap panas? Makanya, buah itu harus kami impor langsung," jelas.


Tanpa melalui distributor pun, lanjutnya, peritel selama ini sudah melalui proses importasi yang panjang karena order kepada supplier dilakukan berdasarkan penawaran dari supplier di luar negeri. (ra)

IMPOR DAGING sapi beku dilarang masuk ritel

JAKARTA: Kuota impor daging sapi beku semester II/2012 sebanyak 8.000 ton hanya untuk keperluan industri olahan, hotel, restoran, dan katering, tidak lagi diperbolehkan dijual ke pasar ritel, sehingga diperkirakan mencukupi kebutuhan periode tersebut.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro mengatakan jatah impor daging sapi beku untuk semester II/2012 hany untuk mengisi kebutuhan industri pengolahan, hotel, restoran, dan katering.

Peraturan Menteri Perdagangan menyebutkan impor daging itu hanya untuk industri olahan dan keperluan khusus seperti hotel, restoran, dan katering.

"Kalau untuk kebutuhan pasar becek, pasar tradisional, pasar moderen dan ritel harus dipasok dari daging lokal. Ke depan juga akan seperti itu," ujarnya kepada Bisnis, Senin 21 Mei 2012.

Dia menjelaskan alokasi impor daging sapi pada semester II/2012 sebanyak 8.000 ton akan cukup jika hanya diperuntukkan bagi industri olahan, hotel, restoran, dan katering.

Kuota impor daging pada semester II/2012 hanya tersisa 8.000 ton, setelah pemerintah menarik jatah kuota impor pada semester II tahun ini sebanyak 5.600 ton.

Pada tahun ini, pemerintah memberikan alokasi impor daging sapi beku sebanyak 34.000 ton yang dibagi dalam semester I sebanyak 20.400 ton dan semester II 13.600 ton.

Namun, pemerintah menarik alokasi impor untuk semester II ke semester pertama sebanyak 5.600 ton, sehingga alokasi impor untuk semester II/2012 tersisa 8.000 ton. (ra)

ANGKA PENGENAL IMPOR hanya untungkan perusahaan besar

JAKARTA: Importir menilai Permendag No 27/2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Importir hanya menguntungkan perusahaan besar, karena lebih mampu mendirikan perusahaan baru dengan tujuan mengantongi beberapa API.
 
Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Indonesia (Ginsi) Yayat Priyatna mengatakan kondisi sebaliknya dialami perusahaan kecil yang menghadapi risiko kolaps karena tidak mampu mendirikan perusahaan baru atau paling tidak profitnya tergerus karena biaya tinggi.
 
“Ini menimbulkan persaingan tidak sehat karena perusahaan besar lebih bisa bertahan dan menyesuaikan diri terhadap peraturan menteri itu,” katanya hari ini, Rabu 23 Mei 2012.
 
Seperti diketahui, dengan adanya Permendag tersebut, satu perusahaan yang awalnya cukup memiliki satu API-U untuk mengimpor barang dari berbagai kelompok (section), nantinya harus mendirikan beberapa perusahaan agar memiliki beberapa API-U yang berbeda section untuk menyelenggarakan usahanya.
 
Pihak lain yang diuntungkan adalah perusahaan forwarding dan pelayaran sebab adanya importir yang berbeda untuk kebutuhan perusahaan akan berdampak pada penerbitan bill of lading (B/L) yang berbeda. Ini artinya biaya doc fee, agency fee dan mekanik akan dibagi untuk masing-masing B/L.
 
Di sisi lain, industri kecil yang selama ini menggantungkan kegiatan impor melalui handling importir terpaksa tidak bisa impor barang modal, mengingat API-U hanya diberikan kepada impor barang tertentu untuk tujuan diperdagangkan.
 
Sebelumnya, sistem QQ (qualitate qua) masih diperbolehkan, yang mana perusahaan industri bisa mengimpor melalui handling importir sembari mendapat fasilitas bebas pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap barang modal.
 
 “Banyak perusahaan kecil menggunakan jasa importir pemilik API-U ketimbang memiliki API sendiri. Dalam waktu dekat, industri kecil yang mengimpor mesin lewat perusahaan jasa importir ini akan kalang-kabut dan membuat mereka semakin terpuruk,” ujarnya.
 
Beleid ini, ungkapnya, hanya menimbulkan inefisieni akibat biaya pengurusan penambahan perusahaan baru tanpa diikuti dengan penambahan produksi. Selain itu, muncul perusahaan-perusahaan semu yang didirikan hanya untuk mengantongi banyak API-U.
 
“Ini menjadi pertanyaan besar buat kami. Apa yang hendak dicapai dengan adanya pembatasan satu API hanya untuk satu section karena toh perusahaan besar masih bisa memiliki beberapa API?” ungkapnya.
 
Sebelumnya, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Deddy Saleh menjanjikan revisi sebelum Permendag itu berlaku mulai 31 Desember 2012. Namun, hingga kini Deddy belum memastikan kapan revisi itu akan diterbitkan. (sut)

Revisi ANGKA PENGENAL IMPOR belum jelas

JAKARTA: Pemerintah belum kunjung memberikan kepastian mengenai revisi Permendag No 27/2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Importir, kendati rencana itu sudah digulirkan sejak beberapa pekan lalu.


"Revisi mudah-mudahan dalam waktu cepat. Ini kan masih ada waktu (gunakan ketentuan lama) sampai 31 Desember," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh, Rabu 23 Mei 2012.


Deddy sebelumnya menyampaikan pihaknya akan merevisi aturan itu dengan memperbolehkan satu angka pengenal importir umum (API-U) digunakan untuk mengimpor lebih dari satu kelompok (section) barang.


Syaratnya, importir harus menunjukkan adanya hubungan istimewa antara perusahaan pemilik API-U dengan perusahaan di luar negeri, yang mana salah satu pihak mempunyai kemampuan mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional sesuai standar akuntansi yang berlaku.


Deddy menjelaskan aturan itu sebetulnya ingin memberikan perlakuan adil bagi importir produsen dan importir umum.


Bayangkan importir produsen yang sudah banyak berinvestasi selama ini hanya hanya diperbolehkan impor barang modal dan bahan baku, tapi importir umum yang kadang kantornya tidak jelas di mana, boleh mengimpor apa saja," ungkapnya.


Selain itu, beleid bertujuan mendorong industri dalam negeri memproduksi barang serupa, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap barang impor. (ra)
 

PONTIANAK: Kadin Kalimantan Barat mempertanyakan larangan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi untuk menjual bijih mineral ke luar negeri yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.7/2012, karena meresahkan para pelaku usaha di wilayah ini. Ketua Kadin Kalimantan Barat (Kalbar) Santyoso Tio mempertanyakan Permen ESDM No.7/2012 terutama menyangkut Pasal 21 yang melarang Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi untuk menjual bijih mineral keluar negeri paling lambat 3 bulan sejak diberlakukannya peraturan menteri tersebut per 6 Februari 2012. “Akibat Permen ESDM tersebut meresahkan pelaku usaha yang khususnya selama ini bergerak dalam bidang pertambangan bauksit, bijih besi dan zikron khususnya yang berada di Kalbar,” ujar Santyoso kepada Bisnis, hari ini. Dia menjelaskan apabila Permen tersebut diberlakukan, semua kegiatan tambang akan berhenti dan menimbulkan dampak yang sangat mematikan bagi pengusaha tambang. Ini terutama yang berkaitan dengan kontrak jual beli, sewa kendaraan, sewa ponton, yang juga berakibat pada masalah kredit di bank yang sedang berjalan, dan tenaga kerja. Dalam Permen ESDM No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral khususnya Bab IX Pasal 21 ketentuan peralihan disebutkan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diterbitkan sebelum berlakunya peraturan menteri ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri, dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak peraturan diberlakukan. Santyoso menjelaskan, selama ini pengusaha di sektor tambang bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada dalam IUP operasi produksi dan sesuai dengan UU Minerba No.4/2009 yang intinya masih memperbolehkan melakukan penjualan sampai 2014. Untuk itu, kata Santyoso, sampai saat ini pengusaha sedang berupaya atau menambah investasi dan menambah unit pengolahan dalam meningkatkan nilai tambah mineral. "Hampir semua hasil tambang yang dihasilkan di Kalbar bukan low material lagi, tapi sudah ada peningkatan mutu dan nilai jual," katanya. Meski demikian, Santyoso mengakui, hasil produksi belum mencapai produk minimum yang dikehendaki dalam peraturan menteri tersebut, misal biji besi harus mencapai batas pemurnian 85% sampai 2014. Untuk mencapai batas pemurnian [pengolahan] dari saat ini sebesar 60% menjadi 85% atau bahkan 90%, lanjut Santyoso, tentu membutuhkan waktu untuk kajian investasi sesuai material yang tersedia dan nilai ekonomis yang terkait energi dan lahan. "Kami sudah sepakati sesuai UU No.4/2009 yang diperbolehkan menjual sampai 2014, dan sesuai dengan UU tersebut tentu kami tentu mempersiapkannya hingga menjual sampai bahan tambang jadi, tetapi kenapa tiba-tiba ada peraturan menteri itu," jelasnya. Anehnya, kata Santyoso, bukan hanya Permen ESDM No.7/2012 itu saja yang jelas-jelas mengalahkan UU No 4/2009, tetapi Dinas ESDM di level provinsi tidak dilibatkan dalam membuat peraturan tersebut. "Bahkan informasi adanya peraturan menteri tersebut tidak dikirimkan ke dinas dan asosiasi atau Kadin, malah kami dapat dari internet," ujarnya. Santyoso mengatakan dengan terbitnya Permen ESDM itu menunjukkan kurangnya eksistensi pemerintah dalam menciptakan asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dunia usaha. Adanya Permen itu, kata Santyoso, Kadin Kalbar bersama 20 pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan dan Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar akan membahasnya dan akan disampaikan ke Gubernur Kalbar untuk diteruskan ke Kementrian ESDM.(api)

PONTIANAK: Kadin Kalimantan Barat mempertanyakan larangan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi untuk menjual bijih mineral ke luar negeri yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.7/2012, karena meresahkan para pelaku usaha di wilayah ini.

Ketua Kadin Kalimantan Barat (Kalbar) Santyoso Tio mempertanyakan Permen ESDM No.7/2012 terutama menyangkut Pasal 21 yang melarang Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi untuk menjual bijih mineral keluar negeri paling lambat 3 bulan sejak diberlakukannya peraturan menteri tersebut per 6 Februari 2012.

“Akibat Permen ESDM tersebut meresahkan pelaku usaha yang khususnya selama ini bergerak dalam bidang pertambangan bauksit, bijih besi dan zikron khususnya yang berada di Kalbar,” ujar Santyoso kepada Bisnis, hari ini.

Dia menjelaskan apabila Permen tersebut diberlakukan, semua kegiatan tambang akan berhenti dan menimbulkan dampak yang sangat mematikan bagi pengusaha tambang. Ini terutama yang berkaitan dengan kontrak jual beli, sewa kendaraan, sewa ponton, yang juga berakibat pada masalah kredit di bank yang sedang berjalan, dan tenaga kerja.

Dalam Permen ESDM No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral khususnya Bab IX Pasal 21 ketentuan peralihan disebutkan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diterbitkan sebelum berlakunya peraturan menteri ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri, dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak peraturan diberlakukan.

Santyoso menjelaskan, selama ini pengusaha di sektor tambang bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada dalam IUP operasi produksi dan sesuai dengan UU Minerba No.4/2009 yang intinya masih memperbolehkan melakukan penjualan sampai 2014.

Untuk itu, kata Santyoso, sampai saat ini pengusaha sedang berupaya atau menambah investasi dan menambah unit pengolahan dalam meningkatkan nilai tambah mineral.

"Hampir semua hasil tambang yang dihasilkan di Kalbar bukan low material lagi, tapi sudah ada peningkatan mutu dan nilai jual," katanya.

Meski demikian, Santyoso mengakui, hasil produksi belum mencapai produk minimum yang dikehendaki dalam peraturan menteri tersebut, misal biji besi harus mencapai batas pemurnian 85% sampai 2014. Untuk mencapai batas pemurnian [pengolahan] dari saat ini sebesar 60% menjadi 85% atau bahkan 90%, lanjut Santyoso, tentu membutuhkan waktu untuk kajian investasi sesuai material yang tersedia dan nilai ekonomis yang terkait energi dan lahan.

"Kami sudah sepakati sesuai UU No.4/2009 yang diperbolehkan menjual sampai 2014, dan sesuai dengan UU tersebut tentu kami tentu  mempersiapkannya hingga menjual sampai bahan tambang jadi, tetapi kenapa tiba-tiba ada peraturan menteri itu," jelasnya.

Anehnya, kata Santyoso, bukan hanya Permen ESDM No.7/2012 itu saja yang jelas-jelas mengalahkan UU No 4/2009, tetapi Dinas ESDM di level provinsi tidak dilibatkan dalam membuat peraturan tersebut.

"Bahkan informasi adanya peraturan menteri tersebut tidak dikirimkan ke dinas dan asosiasi atau Kadin, malah kami dapat dari internet," ujarnya.

Santyoso mengatakan dengan terbitnya Permen ESDM itu menunjukkan kurangnya eksistensi pemerintah dalam menciptakan asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dunia usaha.

Adanya Permen itu, kata Santyoso, Kadin Kalbar bersama 20 pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan dan Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar akan membahasnya dan akan disampaikan ke Gubernur Kalbar untuk diteruskan ke Kementrian ESDM.(api) 

MINERAL MENTAH—22 Perusahaan tambang bersedia tak lakukan ekspor setelah 2014

JAKARTA: Pemerintah mencatat per 15 Mei 2012, sudah ada 22 perusahaan pemegang IUP operasi produksi mineral yang menandatangani pakta integritas bahwa mereka tidak akan ekspor mineral mentah (raw material atau ore) setelah 2014. 
 
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu bara Kementerian ESDM Edi Prasodjo mengatakan pakta integritas tersebut merupakan salah satu syarat agar perusahaan bisa mendapatkan rekomendasi ESDM untuk bisa tetap ekspor. 
 
“Sudah ada 22 perusahaan yang tandatangan pakta integritas, dia sudah bersedia membayar kewajibannya kepada negara dan janji ekspor hanya sampai awal 2014,” ujarnya ketika ditemui di sela-sela acara diskusi tambang yang diselenggarakan Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan (Permata) Indonesia  hari ini, Selasa 15 Mei 2012.
 
Lebih jauh Edi mengatakan nanti akan ada revisi Permen ESDM 7/2012 dengan menyelipkan satu klausul bahwa jika pengusaha tambang masih ingin mengekspor mineral mentah, mereka harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi ESDM. 
 
“Nanti akan ada revisi Permen 7/2012, ekspor hanya bisa dilakukan oleh eksportir terdaftar di Kemendag, yang untuk mendapatkan itu harus ada rekomendasi dulu dari ESDM,” ujarnya. 
 
Sementara itu, rekomendasi ESDM baru bisa didapat setelah memenuhi lima  syarat. Pertama, perusahaan itu sudah memegang sertifikat IUP clean and clear. Syarat kedua adalah pengusaha wajib menyerahkan rencana kerja (business plan) pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. 
 
Syarat ketiga, perusahaan telah melunasi kewajiban pajak dan PNBP-nya kepada negara. Keempat, perusahaan harus menandatangani pakta integritas dengan pemerintah yang isinya berjanji akan menjaga lingkungan dan pada 2014 berjanji tidak akan ekspor bahan mineral mentah. Terakhir, membayar bea keluar 20% sesuai ketentuan pemerintah. 
 
Jika para pemegang IUP operasi produksi mineral tidak atau belum dapat memenuhi semua persyaratan itu, maka tidak dapat diproses rekomendasi untuk penjualan bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri sesuai dengan peraturan yang berlaku. 
 
 Renegosiasi kontrak 
 
 Edi juga menambahkan saat ini sudah ada 13 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) dan 5 Kontrak Karya (KK) yang sudah selesai direnegosiasi dan siap diteken amandemennya. 
 
Pemerintah berharap seluruh renegosiasi kontrak bisa diteken pada tahun ini. Selain itu, rekonsiliasi seluruh Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang clean and clear (C&C) juga diharapkan selesai tahun ini. 
 
“Harapan kami, di 2012 ini selesai semua,” ujar Edi. (sut)

Dirjen Bea Cukai Abaikan Protes Asosiasi Pengusaha Tambang Terkait Larangan Ekspor

Jakarta, Seruu.com - Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai santai menanggapi protes para eksportir tambang atas aturan pemerintah yang menerapkan pajak 20 persen terhadap barang tambang yang diekspor mentah-mentah. Para eksportir merasa Aturan berbentuk Permen (peraturan menteri) ESDM No.7 Tahun 2012 itu merugikan mereka.
"Silakan saja (protes), kita jalankan aturan pemerintah yang satu. Kita berdasarkan negara, pemerintah, kalau menganggu kepentingan nasional ya kita jalankan, tapi kita koordinasi dengan ESDM," tegas Dirjen Bea Cukai Agung Kuswandono, Kamis (17/5) kemarin.

Agung menegaskan, pihaknya hanya mengikuti apa yang diperintahkan pemerintah, yaitu Kementerian ESDM untuk melakukan pelarangan ekspor tersebut. "Pelarangan ekspor itu adalah amanat dari Permen ESDM, 3 bulan sejak itu dilarang ekspor, kita jalankan itu," tegasnya.

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) dan beberapa asosiasi melayangkan surat bantahan terhadap aturan tersebut karena dinilai merugikan para eksportir tambang.  Dalam surat bantahan terbuka tersebut, Apemindo meminta kepada seluruh instansi baik Ditjen Bea dan Cukai, Danlantamal TNI AL, Dirjen Perhubungan Laut, Kementerian Perdagangan untuk tidak melakukan pelarangan ekspor, penangkapan kapal-kapal sampai dengan adanya aturan yang jelas dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Cq Dirjen Minerba tentang petunjuk pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM No. 7/2012.

Dalam Permen tersebut, 14 produk tambang bakal kena pajak kalau diekspor mentah-mentah. Barang tambang itu adalah tembaga, emas, perak, timah, timbal, kronium, molybdenum, platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel, mangan, dan antimon.
Pengenaan Bea Keluar kemudian diperluas menjadi berlaku terhadp 65 komoditi mineral oleh Kementrian Keuangan dalam peraturan menteri keuangan yang dikeluarkan Rabu lalu. [mus]

Pemerintah Harus Kaji Ulang Permen ESDM No.7/2012

JAKARTA, PedomanNEWS - Anggota Komisi VII DPR RI bidang energi, Dewi Aryani mengusulkan agar pemerintah mengkaji ulang Peraturan Menteri No.7 Tahun 2012.
"Berbagai pendapat, usulan dan protes yang terjadi akibat dari adanya Permen ESDM No. 07 tahun 2012 harus dijadikan momentum pemerintah untuk segera melakukan upaya review kebijakan tersebut secara mendalam. Pihak yang menyetujui dan menolak harus diperlakukan sama," ujar politisi PDI Perjuangan kepada wartawan, Jakarta, Selasa (8/5).
Menurutnya, kesalahan pemerintah terkait tata kelola pertambangan dan win-win solution harus segera dibeberkan.
Dikatakannya, pemerintah memiliki beberap poin kesalahan, diantaranya pertama, obral ijin tambang selama ini tanpa memberikan persyaratan baku (dalam lampiran persyaratan) soal jenis perusahaan yang boleh ijin tambang baik dari sisi jumlah minimum permodalan maupun rencana kerja.
Kedua, maraknya calo tambang tidak pernah serius di berantas. Ketiga, birokrasi dalam proses investasi yang berbelit dan banyak indikasi suap dalam mendapatkan berbagai macam perijinan yang menyertainya.
"Ini kaitannya dengan wacana reformasi birokrasi harusnya di implementasikan segera di sektor ini," tuturnya.
Keempat, pemerintah tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan. Sehingga berbagai bentuk protes marak setelah peraturan di tetapkan.
"Mestinya laksanakan dulu semacam focus group discusion (FGD) untuk tiap prosesnya sehingga mendapatkan masukan, kritik dan ide konstruktif selama proses pembuatan kebijakan," terangnya.
Kelima, inkonsistensi dalam berbagai peraturan. Jika telah diamanatkan dalam UU bahwa batas waktu pelarangan ekspor adalah 2014, maka harus mengacu kepada UU tersebut.
"Jangan tiba-tiba ada peraturan yang menindih dan overlapped dalam substansinya, yang berakibat kepada sistem, mekanisme dan rencana kerja perusahaan yang memang secara positif sudah menyiapkan business plan sesuai dengan peraturan yang melekat sebelumnya," paparnya.
Keenam, soal bea ekspor sebesar 20 persen untuk 14 jenis bahan mineral mestinya sudah dipikirkan sebagai dampak dari isi UU tersebut jauh hari sebelumnya, bukan baru sekarang diturunkan sebagai kebijakan instan (baik dlm proses maupun penghitungan dampaknya thd berbagai aspek). Dimana berbagai alasan mengenai meningkatnya produksi mineral yang di ekspor justru mengindikasikan pemerintah selama ini lemah dalam kontrol kebijakan dan sangat rapuh dalam menganalisa berbagai kemungkinan skenario akibat dr kebijakan yang di lahirkan.
Langkah Win Win Solution
Untuk menghindari berbagai gejolak, usul Dewi, maka pemerintah harus segera mengambil langkah - langkah tegas dan win-win bagi semua stake holder sektor pertambangan, diantaranya adalah yang harus di lakukan pemerintah pertama, mereview kembali Permen ESDN No. 07/2012 dan melakukan kajian mendalam dengan memasukkan berbagai unsur yang telah disampaikan berbagai pemangku kepentingan. "Pihak yang sepakat dan tidak sepakat harus di akomodir."
Kedua, bentuk satgas atau pokja khusus yang bertugas menggodok kasus ini dalam jangka waktu maksimal 6 (enam) bulan ke depan untuk mengkapitalisasi berbagai aspek baik secara teknis dan non teknis pertambangan.
Ketiga, tetap memberi ijin ekspor namun dibatasi dengan kuota tertentu. "Ini untuk menekan laju pertumbuhan volume ekspor," ujarnya menambahkan.
Keempat, bea keluar harus disesuaikan dengan jenis tambangnya, tidak bisa diratakan untuk 14 jenis tersebut sebesar 20 persen. "Cost produksi yang non teknis kadang membuat biaya produksi juga meningkat. Pungutan liat tidak resmi harus ditiadakan dengan pengawasan yang sempurna."
Kelima, untuk batubara, karena menjadi andalan sumber energi ke depan, harusnya menjadi fokus pemerintah dalam pembuatan berbagai macam peraturan.
"Sejak sekarang harus sudah di perhitungkan berapa prosentase bea keluar, bagaimana volume peruntukan DMO (domestik market obligation) dan aspek EMO (eksport market obligation) harus dikaji ulang. Utamakan pemenuhan dalam negeri dahulu," jelasnya.
Keenam, ketakutan terhadap pemegang Kontrak Karya (KK) adalah bagian dari resiko yang harus diambil pemerintah.
"Jangan hanya bisa menekan PMDN, tapi berurusan dengan KK asing juga harus menjadi target pemerintah. Jangan sampai bangsa kita menjadi kuli bangsa lain di tanahnya sendiri," tegasnya.
Dan ketujuh, semua substansi isi UU yang terkait dengan energi termasuk UU Migas dan UU Minerba harus dibahas ulang dengan mengacu dan berpatokan kepada konstitusi dan amanat dalam UUD 45.
Sunandar