Senin, 29 Oktober 2012

Peluang Indonesia Ekspor Pangan ke Mongolia

Ulan Batar (ANTARA News) - Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia Imron Cotan mengatakan bahwa Indonesia berpeluang memasok bahan pangan seperti beras, gula, dan minyak kelapa sawit ke Mongolia.

"Banyak komoditas unggulan Indonesia yang telah lama dikenal di pasar Mongolia seperti produk farmasi, produk makan olahan seperti mi instan, biskuit dan lainnya," katanya kepada ANTARA di Ulan Batar, Mongolia, Rabu.

Sejumlah produk unggulan Indonesia itu antara lain obat flu, mie instan, sabun, dan lainnya.

Namun, lanjut Dubes Imron, Mongolia sangat membutuhkan beras, gula dan minyak kelapa sawit. "Mereka berharap dapat mengimpor beras, minyak kelapa sawit dan gula dalam jumlah banyak," katanya.

Imron mengatakan secara umum kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Mongolia menunjukkan peningkatan signifikan.

"Volume perdagangan kedua negara pada 2011 tercatat enam juta dolar AS," katanya.

Dari jumlah tersebut, Indonesia mengekspor komoditas non minyak dan gas dengan nilai 3,8 juta dolar AS dan impor sebesar 2,2 juta dolar AS, tutur Imron.

"Berdasar jumlah itu terjadi surplus di pihak Indonesia sebesar 1,6 juta dolar AS," katanya menambahkan.

Untuk 2012 terlihat kecenderungan penunjukkan peningkatan volume perdagangan antara kedua negara. "Jika pada periode Januari-Mei 2011 tercatat 1,42 juta dolar AS, maka pada periode yang sama untuk 2012 tercatat 2,19 juta dolar AS atau naik 54,90 persen, tuturnya.

(R018)
Editor: Suryanto

Pemerintah turunkan bea keluar turunan sawit

JAKARTA--- Pemerintah akan menurunkan tarif bea keluar (BK) bagi produk turunan kelapa sawit atau minyak sawit mentah (CPO) akibat anjloknya harga komoditas pada Agustus dan September.

"Perubahan tarif BK akan dilakukan pemerintah seiring dengan merosotnya harga komoditas CPO di pasar internasional. Namun, hal ini tidak akan mengganggu program hilirisasi pada industri kelapa sawit di dalam negeri," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan di Jakarta, Kamis (25/10/2012).

Aturan BK CPO, menurut Gita, membuat industri di dalam negeri dapat meningkatkan nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan.

"Bea keluar sangat membantu program hilirisasi industri karena produsen bisa membuat produk yang memiliki daya saing tinggi," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan, mengatakan bahwa pelaku usaha kelapa sawit dan turunannya atau CPO di dalam negeri sangat khawatir dengan peraturan pemerintah Malaysia yang menurunkan tarif bea keluar (BK) ekspor CPO.

"Kebijakan BK ekspor CPO yang diterapkan pemerintah Malaysia membuat ekspor CPO asal Indonesia ke India semakin menurun. Saat ini, Indonesia memiliki pasar CPO di India sebanyak lima juta ton dan Malaysia tiga juta ton," katanya.

Tarif bea keluar CPO terendah mencapai 7,5%  pada harga US$750  sampai dengan US$800 per ton, sedangkan harga tertinggi sekitar 22,5%  pada harga di atas US$1.250  per ton.

Pada  Oktober ini, kata dia, tarif bea keluar CPO ditetapkan 13,5%  pada harga US$950  sampai dengan US$1.000  per ton. (Antara/msb)

IMPORTIR HORTIKULTURA

JAKARTA – Importir buah dan sayuran menagih penerbitan rekomendasi impor produk hortikultura atau RIPH karena molor dari tenggat waktu yang dijanjikan.

Manajer Impor PT Mitra Sarana Purnama Taufik Mampuk mengatakan pihaknya hingga kini belum mengantongi RIPH meskipun permohonan sudah diajukan sejak 2 Oktober 2012. Hal yang sama menurutnya juga dialami oleh banyak perusahaan importir yang lain.

Padahal, semula Kementerian Pertanian menjanjikan pengurusan RIPH hanya memakan waktu maksimal 14 hari sejak tanggal pengajuan.

Adapun Kementan baru bersedia menerima pengajuan permohonan setelah Permendag No 60/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura terbit pada 28 September 2012.

“Karena 28 September bertepatan dengan Jumat, kami ramai-ramai baru mengajukan permohonan pada 2 Oktober. Tapi, sampai sekarang belum ada (RIPH)  yang keluar. Semua belum terima. Jadi, kami masih menunggu,” kata Taufik, Minggu (28/10/2012).

Mitra Sarana Purnama mengajukan alokasi yang sama dengan realisasi impor setiap bulan. Perusahaan importir buah-buahan di Jakarta itu selama ini mengimpor buah-buahan rata-rata 100 kontainer per bulan.

Buah-buahan itu antara lain atas anggur dari Amerika Serikat dan China, durian dan longan dari Thailand, jeruk dari Australia, AS, China, Argentina dan Mesir.

Hingga kini, Mitra Sarana Purnama belum dapat menyusun perencanaan impor pada bulan depan karena belum mendapat kepastian mengenai volume masing-masing buah yang boleh diimpor.

Importir pun masih harus melewati tahap selanjutnya, yakni menyampaikan RIPH kepada Kementerian Perdagangan untuk
mendapat persetujuan impor.

Taufik mengatakan stok sejumlah buah-buahan, seperti jeruk dan apel, mulai menipis, tetapi untungnya tertolong oleh musim panen mangga di dalam negeri.

“Konsumen jeruk dan apel beralih ke mangga yang saat ini sedang ‘banjir’. Harganya murah sekali, hanya Rp4.000 per kg. Untuk sementara, apel dan jeruk disubstitusi oleh mangga,” tuturnya.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Deddy Saleh mengatakan pihaknya belum mengeluarkan persetujuan impor karena belum ada satu pun RIPH yang sampai ke mejanya.

Hingga pekan lalu, Kemendag telah menetapkan 86 importir terdaftar (IT) produk hortikultura dari sekitar 130 perusahaan importir pemohon. Sekitar 30 pemohon ditolak karena infrastrukturnya tidak memenuhi syarat, sedangkan sisanya masih dalam proses.

Sementara, Direktur Pemasaran Dalam Negeri Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Produk Pertanian Kementan Mahpudin mengatakan pihaknya hingga kini masih memeriksa kesesuaian volume impor yang diajukan dengan data produksi sehingga RIPH belum dapat dikeluarkan.

“Kami sedang kerja keras sekarang. Kemarin dari sekian banyak permohonan, itu menumpuk. Kami ingin tahu dulu berapa (volume impor) yang diminta masing-masing importir. Jangan sampai nanti yang ini dikasih sekian, nanti yang lain protes,” ujarnya.

Pihaknya tak mengetahui secara pasti jumlah permohonan yang telah masuk ke Kementan. Sebagian pengajuan boleh jadi masih berada di Pusat Perizinan dan Investasi Kementan, sedangkan sebagian lainnya sudah di tangan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Produk Pertanian Kementan dan tinggal menunggu persetujuan.

Namun hingga berita ini diturunkan, Bisnis belum berhasil menghubungi Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Produk Pertanian Kementan Banun Harpini.

Mahpudin mengatakan pihaknya belum tentu memberikan rekomendasi impor sesuai jumlah yang diminta importir karena mempertimbangkan produksi dalam negeri. Rekomendasi baru diberikan jika produksi dalam negeri tidak cukup memenuhi kebutuhan.(msb)
 

PRODUK EKSPOR: JPIK minta kayu Indonesia di Eropa dicek ulang

BALIKPAPAN--- Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menegaskan perlu dilakukan pengecekan di Uni Eropa sebagai daerah tujuan ekspor terhadap produk kayu yang dikirim dari Indonesia.

"Pemantauan itu untuk memastikan bahwa produk kayu yang dikirim tersebut adalah yang jelas asal-usul pemanenannya dan terjamin legalitasnya," tegas Ismail Arrasyid dari Yayasan Padi Indonesia, anggota JPIK di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (26/10/2012).

Menurut Ismail, hal ini berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pengapalan (shipment test) produk kayu olahan dari 17 perusahaan Indonesia dan dilakukan di Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang, Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dan Pelabuhan Belawan di Medan.

Imbauan JPIK untuk pemantauan ulang di Uni Eropa adalah karena keempat pelabuhan memiliki catatan buruk praktik bisnis hitam penyelundupan kayu bukan olahan (non-finishing) ke luar negeri.

Kayu-kayu tersebut dimasukkan ke kontainer atau peti kemas sementara informasi dalam dokumen ekspor barang (PEB) dipalsukan. Misalnya dokumen menyebutkan isi kontainer adalah produk kayu olahan namun bila dicek kemudian ternyata isinya masih berupa kayu gelondongan atau kayu gergajian.

"Padahal karena nilai tambahnya kecil, kayu bukan olahan tersebut tidak diperkenankan untuk diekspor," tegas Arrasyid.

Kegiatan uji coba pengapalan itu mulai dilakukan pada 15 Oktober 2012 sampai dengan akhir November 2012 dengan tujuan ekspor 9 negara anggota Uni Eropa.

Kegiatan pengapalan tersebut merupakan bagian dari hasil perundingan Indonesia-Uni Eropa dalam Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT), suatu kerja sama dalam penegakan hukum dan tata kepemerintahan di bidang kehutanan, dan perdagangannya.

Kesepakatan itu mengharuskan semua produk kayu dari Indonesia harus lolos verifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)untuk bisa diterima pasar Eropa.

Sistem ini untuk melindungi dan melestarikan hutan dan plasma nuftah yang ada di dalamnya. Hanya kayu yang legal yang bisa mendapat barkode khusus SVLK.

Itu artinya produk tersebut dibuat dari kayu yang ditebang dari blok tebang yang sah yang sudah dilaporkan sebelumnya dalam perencanaan penebangan perusahaan yang bersangkutan, dan perusahaan sudah membayar biaya-biaya yang menjadi kewajibannya, berupa pajak dan iuran kepada pemerintah.

Di Kaltim produsen kayu yang sudah menerapkan ini adalah PT Balikpapan Forest Industry (BFI) yang memiliki konsesi penebangan di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Di areal konsesinya tersebut, selain melakukan tebang pilih yang ketat, BFI juga melakukan penanaman kembali.

Penerapan SVLK di sini dimulai dari tempat penumpukan kayu.

SVLK telah dikembangkan sejak  2003 melalui proses dengan melibatkan banyak pihak, baik di Indonesia maupun di Uni Eropa. SVLK berlaku wajib untuk semua produk kayu dan kayu dari hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat ataupun hutan kemasyarakatan.

"Seluruh pelaku usaha di bidang kehutanan harus memenuhi kewajibannya SVLK seperti diatur regulasi Menteri Kehutanan P38/2009 dilanjutkan P68/2011, termasuk sesuai dengan tenggat waktunya.

Pemerintah harus memastikan hal ini dan mengambil langkah tegas atas pelaku usaha yang tidak melaksanakan kewajibannya tersebut," tegas Abu Meridian, Dinamisator Nasional JPIK.

Abu Meridian juga menegaskan bahwa pihak Uni Eropa selaku negara konsumen harus serius dalam memastikan produk kayu yang berasal dari Indonesia adalah benar dapat dipastikan dari sumber yang legal. Ini sebagai bentuk aksi dan komitmen tanggung jawab negara konsumen. (Antara/msb)