Jumat, 12 Mei 2017

Peningkatan Impor Tanda Produk Lokal Belum Mampu Jadi Subtitusi

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi Indef Bhima Yudistira menilai tren kenaikan impor nasional yang makin besar menandakan industri di dalam negeri belum mampu menjadi substitusi impor.
Pernyataan Bhima mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan secara total nilai impor selama kuartal I-2017 sebesar US$ 36,68 miliar, naik 14,83 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Nilai impor ini antara lain pada sektor konsumsi yang melonjak 58,21 persen pada Maret 2017. Kenaikan tertinggi pada impor buah-buahan serta gula dan permen.
Sementara, impor barang modal naik 18,8 persen didorong kenaikan impor telepon seluler dan notebook. Adapun impor bahan baku dan penolong naik 13,31 persen pada Maret dibanding Februari 2017. 

Padahal, kata dia saat ini, tren konsumsi kian membesar ditopang konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang mencapai 50 persen.
"Dengan lonjakan konsumsi, artinya butuh barang yang makin banyak. Kalau industri dalam negerinya tidak bisa memenuhi itu, tentu impor makin besar. Atau bisa juga, impor makin besar ini bukan juga karena industri tidak bisa memenuhi, tapi harga di dalam negeri tidak kompetitif, sehingga membuka keran impor besar-besaran," ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, seperti dikutip Selasa (2/5/2017).

Bhima menjelaskan, impor konsumsi yang makin melonjak antara lain berasal dari barang elektronik dan impor makanan jadi dari China yang naik hingga 40 persen.  Semua produk tersebut masuk kategori barang konsumsi.
Ia mengingatkan, jika impor yang selalu didahulukan sementara kelas menengah kian banyak dengan konsumsi yang makin besar dikhawatirkan akan berdampak negatif. Dampaknya antara lain bisa menyebabkan daya saing rendah, dan jika impor terus menjadi ketergantungan berdampak ke inflasi yang tinggi.

Apalagi, dia menilai, saat ini, ada tren struktur perekonomian mulai bergeser dari sektor industri ke perdagangan. Ini juga sudah terlihat dari hasil survei Susenas BPS di 2017, yang mencatat 12,3 juta orang bergerak di bidang usaha perdagangan dan eceran.

"Sehingga sektor industri pengolahan tidak lagi diminati, lebih berpikir lebih baik menjadi importir barang jadi," dia menambahkan.

Padahal, dia mengatakan industri pengolahan merupakan penyerap sektor tenaga kerja yang ikut memberikan transfer teknologi sekaligus salah satu sektor industri strategis.
Dampak lain, dia khawatir akan memukul daya beli masyararakat. Apalagi Indonesia digaungkan dengan bonus demografi di 2030. Bila industri pengolahan meleesu dan tergempur barang impor bisa membuat penyerapan tenaga kerja menurun.

"Sekarang saja, satu persen petumbuhan ekonomi hanya menciptakan 110 ribu tenaga kerja baru. Dulu, satu persen pertumbuhan ekonomi menciptakan 500 ribu tenaga kerja. Artinya dengan lima persen pertumbuhan ekonomi hari ini hanya sekitar 550 ribu orang tenaga kerja baru," dia menuturkan.

Dia pun meminta pemerintah menciptakan industri substitusi impor. Kemudian mempercepat hilirisasi, tak hanya ekspor barang baku mentah.
Adapun 15 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah dinilai belum berdampak besar. Ini terlihat pada industri pengolahan yang tetap lesu.
Hal lain yang harus diperhatikan, pemerintah harus menciptakan hambatan non tarif untuk melindungi industri dalam negeri dan konsisten menerapkannya.

"Negara boleh enggak menerapkan non tariff barrier,  harusnya itu sah dan legal. Di Indonesia kalau tidak salah ada 270 hambatan non tarifnya. Amerika Serikat yang disebut negara bebas tanpa hambatan, justru hambatan tarif bisa 2.000-4.000 lipat. China bisa sampai 4.000 hambatan non tarifnya. aIni rtinya kenapa pemerintah tidak membuat hambatan non tarif, agar industri di dalam makin bagus, mampu bertahan dari serbuan impor," dia menandaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar