Jumat, 12 Mei 2017

Gappmi Usul Bedakan Jalur Pemeriksaan Impor Bahan Baku dan Jadi

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta untuk membenahi mekanisme arus keluar barang impor yang sudah masuk ke pelabuhan. Ini perlu dilakukan agar barang yang sudah masuk benar-benar memiliki standar sekaligus terjamin dari sisi keamanannya. Alasan lain, agar industri dalam negeri lebih terlindungi.
Pemerintah bisa lebih mendahulukan bahan baku untuk keluar dari pelabuhan karena digunakan demi mendukung proses industri di dalam negeri. Artinya, ada proses memilih memilah sebelum barang keluar dari pelabuhan.
"Percepatan impor dan penyederhanaan proses impor harus lebih diutamakan bahan baku. Meskipun secara regulations tidak bisa ada diskriminasi, namun bisa dibuat jalur berbeda antara bahan baku dan barang jadi," ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman di Jakarta, seperti dikutip Kamis (11/5/2017).

Bahkan, jika perlu ada jalur pemeriksaan tambahan, untuk produk-produk kategori konsumsi atau bahan pangan yang langsung konsumsi. "Jalur bahan baku dan produk jadi dipisah. Kemudian persyaratan produk impor pun harus diperketat demi keamanan konsumen di dalam negeri," ujar Adhi. 

Hingga saat ini, industri sektor makanan minuman lebih mampu menahan gempuran produk impor. Kalau pun ada impor, nilai dan volumenya sangat kecil.
Meski data BPS menyebut ada lonjakan barang konsumsi, hal itu tak berlaku untuk sektor makanan minuman. "Kalau sektor mamin saya lihat memang tidak ada lonjakan," dia menjelaskan.
Industri makanan dan minuman, Adhi menegaskan, saat ini sudah menjadi tuan di dalam negeri sehingga tidak khawatir dengan serbuan impor. Tak heran, produk impor jadi di sektor ini pun presentasinya sangat sedikit.
Alhasil, jika konsumsi dalam negeri terus naik didorong pertumbuhan ekonomi membaik, industri mamin dalam negeri siap memenuhi setiap kenaikan permintaan.
"Industri sangat siap. Karena mamin ada filter rasa selera dan budaya. Sehingga relatif lebih sulit mamin global menyerang masuk. Perkiraan impor mamin jadi sekitar 7 persen dari total peredaran dalam negeri," tegas Adhi.
Untuk itu, industri berharap pemerintah benar-benar memperhatikan dan menerapkan perlindungan sekaligus juga menghilangkan berbagai hambatan yang memberatkan pengusaha. Mulai dari regulasi, birokrasi, hingga masih besarnya suku bunga untuk industri.
"Suku bunga. Regulasi yang kurang kondusif. Memang ada deregulasi. Tapi ada juga regulasi baru. Misal soal sertifikasi halal, wacana cukai ke industri, hingga Pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap impor bahan baku kemasan plastik Polythelen Terephalate (PET) dan lain-lain," kata dia.
Ia berharap, pemerintah benar-benar memperhatikan masukan industri dan bisa bersinergi. Jangan lagi ada kementerian mendukung, sebagian lagi menolak, atas masukan yang diberikan industri. Sudah seharusnya pemerintah benar-benar membuktikan keberpihakan pada industri nasional.
"Pemerintah harus lebih meningkatkan koordinasi dengan menjadikan national Interest dan daya saing di pasar global sebagai pedoman," ujar Adhi.
Kebijakan impor harus disinergikan dengan dukungan nyata pada industri sebagai sektor penyerap tenaga kerja besar. Impor jangan lagi dimaknai membuka pintu untuk semua barang masuk leluasa.

Kemendag Bakal Atur Impor Bawang Putih

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah menyusun Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) untuk mengatur impor bawang putih . Selama ini impor komoditas tersebut tidak diatur secara detail sehingga sulit untuk diawasi.

Sekretaris Jenderal Kemendag Kiryanto Supri mengatakan, tidak seperti komoditas pangan lain, tata niaga bawang putih termasuk ekspor-impor selama ini tidak diatur. Sehingga importir bisa secara bebas mengimpor bawang putih tanpa adanya ketentuan mengenai jenis dan jumlahnya.



"Kan sekarang tata niaganya belum diatur. Sekarang sedang dibuat pengaturannya, yang namanya ekspor impor kan wewenang Kemendag. Kita sekarang sedang menyusun Permendag-nya untuk bawang putih," ujar dia di Kantor Kemendag, Jakarta, Jumat (5/5/2017).

Dalam Permendag tersebut, lanjut Karyanto, nantinya akan ditentukan jenis, kualitas dan kuota impor yang diberikan. Namun hal tersebut masih dalam pembahasan lebih lanjut di internal Kemendag.

"Nanti kita atur, spesifikasinya seperti apa, berapa yang mesti masuk. Kalau Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) kan atur soal karantinanya, ini harus connected. Kita dari ekspor-impornya," kata dia.

Dengan adanya Permendag ini, diharapkan pemerintah bisa memastikan kebutuhan bawang putih di dalam negeri, baik untuk industri atau rumah tangga. Juga diharapkan bisa mendorong petani untuk meningkatkan produksi bawang putih di dalam negeri.

"Kita inginnya semua ini produk dalam negeri, ini kita hitung. Kalau kita nggak ada ya berapa kurangnya. (Penerbitan Permendag) Ya segera lah," tandas dia.

Peningkatan Impor Tanda Produk Lokal Belum Mampu Jadi Subtitusi

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi Indef Bhima Yudistira menilai tren kenaikan impor nasional yang makin besar menandakan industri di dalam negeri belum mampu menjadi substitusi impor.
Pernyataan Bhima mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan secara total nilai impor selama kuartal I-2017 sebesar US$ 36,68 miliar, naik 14,83 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Nilai impor ini antara lain pada sektor konsumsi yang melonjak 58,21 persen pada Maret 2017. Kenaikan tertinggi pada impor buah-buahan serta gula dan permen.
Sementara, impor barang modal naik 18,8 persen didorong kenaikan impor telepon seluler dan notebook. Adapun impor bahan baku dan penolong naik 13,31 persen pada Maret dibanding Februari 2017. 

Padahal, kata dia saat ini, tren konsumsi kian membesar ditopang konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang mencapai 50 persen.
"Dengan lonjakan konsumsi, artinya butuh barang yang makin banyak. Kalau industri dalam negerinya tidak bisa memenuhi itu, tentu impor makin besar. Atau bisa juga, impor makin besar ini bukan juga karena industri tidak bisa memenuhi, tapi harga di dalam negeri tidak kompetitif, sehingga membuka keran impor besar-besaran," ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, seperti dikutip Selasa (2/5/2017).

Bhima menjelaskan, impor konsumsi yang makin melonjak antara lain berasal dari barang elektronik dan impor makanan jadi dari China yang naik hingga 40 persen.  Semua produk tersebut masuk kategori barang konsumsi.
Ia mengingatkan, jika impor yang selalu didahulukan sementara kelas menengah kian banyak dengan konsumsi yang makin besar dikhawatirkan akan berdampak negatif. Dampaknya antara lain bisa menyebabkan daya saing rendah, dan jika impor terus menjadi ketergantungan berdampak ke inflasi yang tinggi.

Apalagi, dia menilai, saat ini, ada tren struktur perekonomian mulai bergeser dari sektor industri ke perdagangan. Ini juga sudah terlihat dari hasil survei Susenas BPS di 2017, yang mencatat 12,3 juta orang bergerak di bidang usaha perdagangan dan eceran.

"Sehingga sektor industri pengolahan tidak lagi diminati, lebih berpikir lebih baik menjadi importir barang jadi," dia menambahkan.

Padahal, dia mengatakan industri pengolahan merupakan penyerap sektor tenaga kerja yang ikut memberikan transfer teknologi sekaligus salah satu sektor industri strategis.
Dampak lain, dia khawatir akan memukul daya beli masyararakat. Apalagi Indonesia digaungkan dengan bonus demografi di 2030. Bila industri pengolahan meleesu dan tergempur barang impor bisa membuat penyerapan tenaga kerja menurun.

"Sekarang saja, satu persen petumbuhan ekonomi hanya menciptakan 110 ribu tenaga kerja baru. Dulu, satu persen pertumbuhan ekonomi menciptakan 500 ribu tenaga kerja. Artinya dengan lima persen pertumbuhan ekonomi hari ini hanya sekitar 550 ribu orang tenaga kerja baru," dia menuturkan.

Dia pun meminta pemerintah menciptakan industri substitusi impor. Kemudian mempercepat hilirisasi, tak hanya ekspor barang baku mentah.
Adapun 15 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah dinilai belum berdampak besar. Ini terlihat pada industri pengolahan yang tetap lesu.
Hal lain yang harus diperhatikan, pemerintah harus menciptakan hambatan non tarif untuk melindungi industri dalam negeri dan konsisten menerapkannya.

"Negara boleh enggak menerapkan non tariff barrier,  harusnya itu sah dan legal. Di Indonesia kalau tidak salah ada 270 hambatan non tarifnya. Amerika Serikat yang disebut negara bebas tanpa hambatan, justru hambatan tarif bisa 2.000-4.000 lipat. China bisa sampai 4.000 hambatan non tarifnya. aIni rtinya kenapa pemerintah tidak membuat hambatan non tarif, agar industri di dalam makin bagus, mampu bertahan dari serbuan impor," dia menandaskan.