Senin, 09 Juni 2014

Penaikan Tarif Penanganan Kontainer Kurangi Beban Priok

Bisnis.com, JAKARTA- PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II/IPC) menyatakan penaikan tarif container handling charge (CHC) hanya sedikit menutup kebutuhan investasi Pelabuhan Tanjung Priok.
Corporate Secretary PT Pelindo II Rima Noviyanti mengatakan penaikan tarif jasa kepelabuhanan itu tidak memiliki korelasi yang signifikan bila dibandingkan dengan kebutuhan investasi pelabuhan.
Menurutnya, CHC hanya mengambil porsi kecil dari keseluruhan komponen biaya yang terdiri dari surcharge dan pajak.
“Penaikan CHC hanya sekitar 0,01% saja dibandingkan kebutuhan investasi yang dibutuhkan sekarang untuk pengembangan pelabuhan di bawah IPC/Pelindo II,” ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (8/6/2014).
Sebelumnya, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation (IPC) Richard Joost Lino mengatakan telah mengirimkan usulan penaikan container handling charge di tiga terminal Pelabuhan Tanjung Priok.
Usulan tersebut telah karena telah disepakati asosiasi pengguna jasa pelabuhan terbesar di Indonesia itu.
Sejauh ini, menurutnya, biaya CHC di Pelabuhan Tanjung Priok yang termurah di Asean setelah Thailand.
Itu pun, katanya, karena pelabuhan di Thailand selalu mendapat bantuan finansial dari pemerintah jika melakukan pembangunan.
Selain itu, penaikan CHC biar menjadi insentif bagi investor asing atau lokal untuk berinvestasi ke sektor pelabuhan meng ingat adanya kepastian ta rif kepelabuhanan.

Operator Minta Penyesuaian Tarif Pelabuhan

Bisnis.com, JAKARTA- Penyesuaian tarif container handling charge (CHC) merupakan upaya operator pelabuhan mempertahankan nilai bisnis serta mengikuti kondisi perekonomian.
Kepala Humas Pelindo III Edi Priyanto beranggapan bahwa usulan penaikan CHC merupakan kewajaran bagi para operator pelabuhan.
Menurutnya, penaikan lebih merupakan penyesuaian terhadap kondisi perekonomian terkini, seperti antisipasi penaikan tarif dasar listrik, upah pekerja, dan penyisihan investasi.
 “Jadi kalau ada perubahan tarif oleh operator, itu bukan penaikan melainkan penyesuaian,” ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (8/6/2014).
Sebagaimana yang terjadi pada Pelabuhan Tanjung Perak, menurutnya, sudah terlampau lama tidak terjadi penyesuaian tarif CHC.
Saat ini, tarif CHC di sana sebesar US$82 per kontainer 20 kaki, sedangkan US$123 untuk kontainer 40 kaki.
 Menurutnya, sejauh ini operator pelabuhan kesulitan untuk mendapatkan dana investasi guna mengembangkan infrastruktur maupun peningkatan pelayanan.
Satu-satunya harapan ialah mengundang investasi swasta ataupun mendatangkan pinjaman.
 “Banyak investor yang tak mau menanggung risiko untuk sektor pelabuhan, sebab harus menunggu puluhan tahun untuk pengembalian investasinya,” katanya.
 Hal inilah yang seharusnya dipertimbangkan bagi penetapan penyesuaian tarif. Artinya, operator pelabuhan kerap memperhatikan laju pengembangan di saat investor lebih memilih ke bisnis yang lebih menjanjikan.
 “Mereka yang memiliki dana lebih memilih membangun mal daripada pelabuhan, sebab sudah pasti pangsanya. Kalau pelabuhan kan tidak demikian,” ujarnya.
Sejauh ini saja, Edi menambahkan, pihaknya telah mengeluarkan anggaran tak kecil untuk membangun alur laut dan biaya fasilitas listrik, meski keduanya tidak langsung mendatangkan pendapatan.
“Untuk alur itu kita keluarkan dana Rp800 miliar, untuk listrik sebagai contoh di Teluk Lamong yang belum lagi beroperasi itu abodemennya Rp2 miliar.”

DWELLING TIME: Importir Belum Disiplin Urus Perizinan

Bisnis.com, JAKARTA -- Ditjen Bea dan Cukai menilai besarnya porsi proses penyiapan dokumen dalam waktu inap kontainer atau dwelling time lebih disebabkan perilaku pengusaha yang seringkali tidak disiplin memulai proses perizinan.
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Susiwijono Moegiarso mengklaim lamanya waktu dalam proses penyiapan dokumen atau pre-clearance lebih banyak porsinya disebabkan oleh importir dibandingkan oleh  instansi pemeritah.
“Jadi begini, sebelum barang datang itu, para pemilik barang seharusnya terlebih dahulu mengurus izin impornya itu ke instansi pemerintah terkait. Sehingga ketika datang, seluruh dokumen perizinan sudah selesai, tetapi ini justru tidak,” ujarnya, Minggu (8/6/2014).
Bahkan, sambungnya, barang yang sudah datang pun tidak kemudian langsung diurus dokumen perizinannya oleh pemilik barang.
Alhasil, dwelling time kian sulit untuk ditekan akibat rendahnya disiplin waktu para pemilik barang.
Pos pre-clearance adalah proses barang masuk ke Pelabuhan sebelum diperiksa oleh aparat bea dan cukai pelabuhan.
Proses tersebut a.l. meliputi pemenuhan izin instansi, proses pembayaran (perbankan), administrasi pelabuhan dan infrastruktur, dan karantina.
“Saat ini, beberapa izin di perdagangan itu bisa melalui online. Hitungan menit pun jadi. Tapi kalau barangnya sudah datang, dan izinnya belum diurus, maka hitungannya menjadi sekian hari dong. Enggak fair jadinya menyalahkan pemerintah,” tuturnya.
Susiwijono mengatakan perlunya edukasi bagi para pemilik barang untuk sesegera mungkin mengajukan proses penyiapan dokumen perizinan sebelum barang datang.
Pemerintah juga melampirkan segala persyaratan perizinan dalam Indonesia National Single Window.
Dia juga mensinyalir ada beberapa korporasi besar yang sengaja menyimpan barangnya di pelabuhan sebagai buffer stock karena tidak memiliki gudang di Indonesia.
Menurutnya, hal itu dilakukan karena ada antrean produksi di dalam pabrik mereka.