JAKARTA, PedomanNEWS - Anggota
Komisi VII DPR RI bidang energi, Dewi Aryani mengusulkan agar
pemerintah mengkaji ulang Peraturan Menteri No.7 Tahun 2012.
"Berbagai
pendapat, usulan dan protes yang terjadi akibat dari adanya Permen ESDM
No. 07 tahun 2012 harus dijadikan momentum pemerintah untuk segera
melakukan upaya review kebijakan tersebut secara mendalam. Pihak yang
menyetujui dan menolak harus diperlakukan sama," ujar politisi PDI
Perjuangan kepada wartawan, Jakarta, Selasa (8/5).
Menurutnya, kesalahan pemerintah terkait tata kelola pertambangan dan win-win solution harus segera dibeberkan.
Dikatakannya,
pemerintah memiliki beberap poin kesalahan, diantaranya pertama, obral
ijin tambang selama ini tanpa memberikan persyaratan baku (dalam
lampiran persyaratan) soal jenis perusahaan yang boleh ijin tambang baik
dari sisi jumlah minimum permodalan maupun rencana kerja.
Kedua,
maraknya calo tambang tidak pernah serius di berantas. Ketiga,
birokrasi dalam proses investasi yang berbelit dan banyak indikasi suap
dalam mendapatkan berbagai macam perijinan yang menyertainya.
"Ini kaitannya dengan wacana reformasi birokrasi harusnya di implementasikan segera di sektor ini," tuturnya.
Keempat,
pemerintah tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses
pembuatan kebijakan. Sehingga berbagai bentuk protes marak setelah
peraturan di tetapkan.
"Mestinya
laksanakan dulu semacam focus group discusion (FGD) untuk tiap
prosesnya sehingga mendapatkan masukan, kritik dan ide konstruktif
selama proses pembuatan kebijakan," terangnya.
Kelima,
inkonsistensi dalam berbagai peraturan. Jika telah diamanatkan dalam UU
bahwa batas waktu pelarangan ekspor adalah 2014, maka harus mengacu
kepada UU tersebut.
"Jangan
tiba-tiba ada peraturan yang menindih dan overlapped dalam
substansinya, yang berakibat kepada sistem, mekanisme dan rencana kerja
perusahaan yang memang secara positif sudah menyiapkan business plan
sesuai dengan peraturan yang melekat sebelumnya," paparnya.
Keenam,
soal bea ekspor sebesar 20 persen untuk 14 jenis bahan mineral mestinya
sudah dipikirkan sebagai dampak dari isi UU tersebut jauh hari
sebelumnya, bukan baru sekarang diturunkan sebagai kebijakan instan
(baik dlm proses maupun penghitungan dampaknya thd berbagai aspek).
Dimana berbagai alasan mengenai meningkatnya produksi mineral yang di
ekspor justru mengindikasikan pemerintah selama ini lemah dalam kontrol
kebijakan dan sangat rapuh dalam menganalisa berbagai kemungkinan
skenario akibat dr kebijakan yang di lahirkan.
Langkah Win Win Solution
Untuk
menghindari berbagai gejolak, usul Dewi, maka pemerintah harus segera
mengambil langkah - langkah tegas dan win-win bagi semua stake holder
sektor pertambangan, diantaranya adalah yang harus di lakukan pemerintah
pertama, mereview kembali Permen ESDN No. 07/2012 dan melakukan kajian
mendalam dengan memasukkan berbagai unsur yang telah disampaikan
berbagai pemangku kepentingan. "Pihak yang sepakat dan tidak sepakat
harus di akomodir."
Kedua,
bentuk satgas atau pokja khusus yang bertugas menggodok kasus ini dalam
jangka waktu maksimal 6 (enam) bulan ke depan untuk mengkapitalisasi
berbagai aspek baik secara teknis dan non teknis pertambangan.
Ketiga,
tetap memberi ijin ekspor namun dibatasi dengan kuota tertentu. "Ini
untuk menekan laju pertumbuhan volume ekspor," ujarnya menambahkan.
Keempat,
bea keluar harus disesuaikan dengan jenis tambangnya, tidak bisa
diratakan untuk 14 jenis tersebut sebesar 20 persen. "Cost produksi yang
non teknis kadang membuat biaya produksi juga meningkat. Pungutan liat
tidak resmi harus ditiadakan dengan pengawasan yang sempurna."
Kelima,
untuk batubara, karena menjadi andalan sumber energi ke depan, harusnya
menjadi fokus pemerintah dalam pembuatan berbagai macam peraturan.
"Sejak
sekarang harus sudah di perhitungkan berapa prosentase bea keluar,
bagaimana volume peruntukan DMO (domestik market obligation) dan aspek
EMO (eksport market obligation) harus dikaji ulang. Utamakan pemenuhan
dalam negeri dahulu," jelasnya.
Keenam, ketakutan terhadap pemegang Kontrak Karya (KK) adalah bagian dari resiko yang harus diambil pemerintah.
"Jangan
hanya bisa menekan PMDN, tapi berurusan dengan KK asing juga harus
menjadi target pemerintah. Jangan sampai bangsa kita menjadi kuli bangsa
lain di tanahnya sendiri," tegasnya.
Dan
ketujuh, semua substansi isi UU yang terkait dengan energi termasuk UU
Migas dan UU Minerba harus dibahas ulang dengan mengacu dan berpatokan
kepada konstitusi dan amanat dalam UUD 45.
Sunandar