VIVAnews - Sebagai produsen produk bubur kertas (pulp)
dan kertas yang makin diperhitungkan di dunia, kalangan pelaku usaha di
tanah air mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan sertifikasi kayu
hutan yang diakui secara internasional.
Presiden Komisaris PT
Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Tony Wenas dalam acara 'Workshop
Social Media in Asia' di Singapura mengungkapkan, kebutuhan sertifikasi
itu dianggap mendesak mengingat kampanye seputar produk hutan asal
Indonesia di pasar internasional semakin marak.
Wenas menjelaskan, produk pulp
dan kertas Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menjadi ancaman bagi
negara pesaingnya di Eropa dan Amerika Selatan. Hal itu tak terlepas
dari keunggulan produk hutan Indonesia yang dapat dipanen lebih cepat
dibandingkan negara pesaing.
Untuk diketahui, tanaman
akasia yang menjadi bahan baku pembuatan kertas bisa dipanen di
Indonesia hanya dalam tujuh tahun. Sedangkan di Eropa atau Amerika
Selatan, dibutuhkan waktu lebih dari 20 tahun.
Keunggulan lain adalah
jarak Indonesia dan China sebagai pasar utama kertas dunia relatif lebih
dekat dibandingkan Brazil dan Eropa. "Industrialisasi di China dan
dunia bakal tumbuh pesat. Jadi, kebutuhan kertas akan naik signifikan,"
ungkapnya.
Untuk mengekspor produk
pulp maupun kertas ke China, produsen kertas Indonesia hanya butuh waktu
tujuh hari, sedangkan perusahaan dari Eropa dan Brazil membutuhkan
waktu lebih dari 30 hari.
Dalam perhitungan RAPP,
produksi kertas Indonesia saat ini mencapai 12 juta ton per tahun atau
2,2 persen pangsa pasar dunia yang mencapai 350 juta ton. Saat ini,
produksi kertas Indonesia merupakan yang terbesar ke-12 dunia.
Sementara itu, produk pulp
nasional saat ini ditaksir sebesar 7 juta ton per tahun dan mengisi 2,5
persen pangsa pasar dunia sebanyak 200 juta ton. Produksi pulp
Indonesia merupakan terbesar ke-9 dunia.
Dengan tingkat daya saing
yang tinggi, Wenas menilai, para pelaku usaha sudah sepatutnya membuat
sertifikasi hutan kayu yang diakui secara internasional. Sertifikat
kelestarian hutan itu selanjutnya harus didukung pemerintah sehingga
bisa diakui di dunia internasional.
"Brasil sudah berhasil
karena mereka bisa membuat sertifikasi yang diakui internasional. Kita
belum punya (sertifikasi) itu," tegas Wenas.
Preseden Buruk
Pada bagian lain, Wenas
mengungkapkan, para pelaku industri kehutanan khawatir masalah perebutan
lahan konsesi bakal menjadi preseden buruk bagi masuknya investasi dari
luar negeri. Apalagi, jika sampai muncul bentrokan dengan masyarakat
lokal.
Ia menjelaskan, masalah
konflik lahan yang dialami perusahaan telah mempengaruhi kebijakan
perusahaan. Beruntung, sisi operasinal perusahaan tak terpengaruh secara
keseluruhan.
Padahal, kata Wenas,
perusahaan telah membuka diri untuk berdialog dengan masa penentang
pengembangan hutan tanaman industri (HTI).
Menurutnya, dalam
sejumlah kejadian yang mencuat ke permukaan, pemerintah sebetulnya
mengetahui seluruh kondisi dan masalah yang dihadapi perusahaan. Namun
begitu sampai ke level bawah, informasi yang disampaikan senantiasa tak
sesuai.
Munculnya berbagai
preseden buruk tersebut, ujar Wenas, pada akhirnya menuntut pemerintah
agar lebih tegas dalam menghadapi persoalan di lapangan. "Sekarang ini
kebijakan pemerintah tak mau frontal dengan masyarakat," tegas dia.
(asp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar