HONOLULU:Pemerintah menilai perjanjian dagang secara bilateral
dibutuhkan antara Indonesia dengan sejumlah negara, menyusul upaya
untuk meningkatkan nilai ekspor produk dalam negeri di tengah krisis
finansial di Eropa dan Amerika Serikat yang membayangi serta dalam
rangka memenangkan persaingan.
Gusmardi Bustami, Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan
Internasional Kementerian Perdagangan, mengatakan saat ini perjanjian
dagang secara bilateral yang telah disepakti baru dengan Jepang, dan
selanjutnya akan menyusul antara RI dengan India, Korsel, Uni Eropa,
Turki, EFTA (European Free Trade Association) yaitu dengan negara
Swis, Norwegia, Iceland, dan di Liechtenstein.
"Ya [perjanjian dagang bilateral] dibutuhkan apalagi saat risis
finansial melanda negara Eropa dan AS," kata Gusmardi hari ini, di sela
perhelatan KTT APEC 2011 yang diselenggarakan di Honolulu, Hawai, AS.
Perjanjian bilateral yang diikuti tarif bea masuk impor tersebut,
ujarnya, sekaligus merupakan upaya Indonesia untuk memenangkan
persaiangan. Mengingat sejumlah negara di Asia juga saat ini melakukan
diversifikasi pasar, pasca terjadinya krisis finansial di Eropa dan AS.
Apalagi, ujarnya, jika negara pesaing yang berada dekat dengan
Indonesia telah melakukan perjanjian bilateral dengan negara tujuan
ekspor, maka pemerintah perlu mempertimbangkan untuk melakukan hal sama.
"Karena ,misalnya, kalau Indonesia tidak melakukan, kemudian negara
tetangga melakukan . Waktu dia [negara tujuan ekspor] beli produk sama,
tentu importir atau negara improtir memilih kepada yang lebih murah,"
kata Gusmardi.
Perbedaan pengenaan tarif sebesar 10% antara negara pesaing untuk
merebut pangsa ekspor di suatu negara akan besar dampaknya atas
keputusan para importir dalam rangka mendapatkan barang lebih murah.
Apalagi saat ini memang sudah ada gejala menurunnya permintaan barang
dari pasar tradisional atau negara potensial yang membeli produk dari
Indonesia. Jika pada 2010 sebesar 42% porsinya dari total ekspor, maka
pada pada tahun 2011 hingga saat ini baru 40%.
Gusmardi menilai penurunan tersebut mengingat konsumen di pasar
tradisonal melakukan penghematan belanjanya dikarenakan terjadi krisis
finansial di negaranya. Sementara itu masyarakat di negara
nontradisional lebih stabil konsumsinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar